Kyai Haji Moenawar Chalil, Ulama Pembaharu dari Semarang

OLEH:  Wahyu Indra Wijaya


Kyai Haji Moenawar Chalil adalah seorang ulama mumpuni berpaham reformis yang gencar menyebarkan pemahaman “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” dan memerangi bid’ah, pemerhati kajian-kajian tafsir, hadits, dan fiqih, penulis buku-buku bermutu, dan tokoh langka yang pernah menduduki jabatan penting di dua organisasi reformis terbesar saat itu : Muhammadiyah dan Persatuan Islam.

Ulama bernama lengkap Moenawar Chalil bin Muhammad Chalil ini dilahirkan pada bulan Februari tahun 1908 di Kendal, Jawa Tengah. Ayahnya, KH. Muhammad Chalil, adalah seorang pedagang, hartawan, dan seorang kyai. Moenawar Chalil mendapatkan didikan ilmu agama pertama kali dari ayahnya langsung dan pamannya yang bernama Muhammad Salim serta kyai-kyai lain di Kendal, seperti Kyai Abdul Chamid dan Kyai Irfan. Pendidikannya saat itu didominasi oleh pendidikan ilmu-ilmu agama ketimbang pendidikan modern. Dorongan mendalami ilmu-ilmu agama mendapat dukungan penuh dari sang ibu yang sangat menginginkan Beliau kelak menjadi kyai daripada seorang priyayi.

Pada usia tujuh belas tahun (1925), Moenawar Chalil aktif dalam Syarikat Islam (SI). Saat itu SI telah pecah menjadi 2, yakni “SI Putih” pimpinan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto dan “SI Merah” pimpinan Semaun yang di kemudian hari berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1924. Pada tahun 1926 PKI memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang membuat banyak aktivisnya ditangkap dan dibuang.

Meskipun aktif di “SI Putih”, Moenawar Chalil ikut menerima getah akibat pemberontakan PKI tersebut. Aktivitas Beliau dicurigai dan akhirnya ditangkap pada tahun 1926. Beliau kemudian diputuskan untuk dibuang ke Boven Digul, Papua, meski kemudian keputusan ini tidak pernah dijalankan atas intervensi dari Ayahnya.

Ayah Moenawar Chalil memohon kepada Asisten Residen melalui Bupati Kendal agar Moenawar Chalil dibebaskan dengan alasan anaknya tersebut akan dikirim belajar ke Arab Saudi. Moenawa Chalil akhirnya tidak jadi dibuang ke Boven Digul.

Setelah dibebaskan, pada bulan Januari 1927 Moenawar Chalil melakukan hijrah ke Makkah untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Di sana, Beliau banyak berkenalan dengan para pemuda Islam Indonesia yang juga merantau di sana, termasuk beberapa gurunya dari Solo yang ikut melarikan diri ke Makkah dan juga beberapa pemuda asal Sumatera, salah satunya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).

Selama tinggal di Arab Saudi, Moenawar Chalil dipengaruhi oleh semangat pembaharuan yang dijalankan oleh gerakan Wahhabi yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pengaruh ini kemudian tercermin dalam tulisan-tulisan dan aktivitas-aktivitas pembaharuan Beliau di tanah air. Beliau mencoba meniru model pembaharuan yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau juga sangat terpengaruh dan kagum Syaikh Muhammad Abduh, seorang ulama pembaharu asal Al Azhar Mesir. Kekaguman terhadap dua tokoh tersebut diekspresikan dalam salah satu bukunya yang berjudul “Dua Sejoli Pembangun Alam Islamy : Muhammad Abdul Wahhab dan Muhammad Abduh”.

Sayang sekali, tak tercatat dengan rapi siapa saja yang menjadi guru-guru Beliau di selama periode Makkah tersebut.

Yang menarik, Thoha Hamim dalam disertasinya menyebut bahwa ideologi Wahhabi sebenarnya bukan ideologi yang asing bagi seorang Moenawar Chalil. Menurut Toha Hamim, Moenawar Chalil sempat mengenal ide-ide Wahhabi dan semisalnya dari gurunya di Solo. Namun Thoha Hamim tidak menjelaskan siapa guru Wahhabi Moenawar Chalil di Solo tersebut.

Pada bulan Juni 1929, Moenawar Chalil memutuskan pulang ke tanah air. Sepulangnya dari Makkah, Beliau kemudian diangkat oleh Muhammadiyah cabang Kendal menjadi guru di Sekolah Menengah (Madrasah Al-Wustha) Muhammadiyah dan menjadi Ketua Bagian Tabligh Muhammadiyah cabang Kendal.

Atas ajakan KH. Mas Mansur dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Beliau kemudian diangkat menjadi Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1930. Saat itu usia Beliau baru menginjak 22 tahun. Pengangkatan Beliau sebagai anggota Majelis Tarjih ini merupakan legitimasi dan pengakuan atas kedalaman ilmu Beliau meskipun saat itu usia Beliau masih sangat muda.

Selain di Muhammadiyah, Moenawar Chalil juga berkiprah di organisasi pembaharuan lainnya, yakni Persatuan Islam (Persis). Beliau terdaftar sebagai anggota Persis sejak awal tahun 1930. Pada perkembangan selanjutnya, Moenawar Chalil ikut menjadi pembantu utama majalah Pembela Islam yang dipimpin oleh Ustadz A. Hassan dan M. Natsir -  keduanya ulama organisasi Persatuan Islam (Persis) – yang terbit di Bandung. Beliau juga dipercaya untuk menjadi kolumnis reguler bagi Majalah Pembela Islam untuk wilayah Kendal. Selanjutnya, Beliau dipercaya oleh Persis untuk menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Pengurus Pusat Persatuan Islam (Persis).

Pada tahun 1933, Moenawar Chalil pindah ke Semarang dan oleh Muhammadiyah cabang Semarang Beliau diangkat menjadi guru pada kursus agama Islam dan kursus muballigh.

Pada tahun itu juga, Moenawar Chalil mulai menulis buku dan membuat artikel untuk majalah-majalah Islam, seperti Majalah Pembela Islam Bandung. Dalam tulisan-tulisannya, baik dalam buku maupun artikel, bahkan dalam khutbah-khutbah serta tabligh-tablih yang disampaikan, tampak bahwa Beliau mempunyai hasrat yang kuat dan semangat yang tinggi dalam usahanya memurnikan ajaran-ajaran Islam dari berbagai macam hal-hal yang berbau khurafat, tahayul, syirik dan bid’ah. Sebagian cendekiawan Islam saat itu bahkan menganggapnya sebagai seorang ulama garis keras.

Pada tahun 1934 – 1935, Moenawar Chalil menjabat Pimpinan Redaksi majalah Swara Islam Semarang. Pada tahun 1941, Beliau diangkat menjadi Sekretaris Lajnah Ahli-Ahli Hadits Indonesia sejak Juni 1941 hingga wafatnya. Lajnah ini diketuai oleh KH. Imam Ghazaly – seorang ulama ternama dari Solo –, sedangkan wakil ketuanya dijabat oleh KH. Muhammad Ma’shum. KH. Muhammad Ma’shum ini adalah seorang ulama ahli hadits yang fatwa-fatwanya dalam Majalah Pembela Islam ikut dikumpulkan bersama dengan fatwa-fatwa Ustadz A. Hassan dalam buku Soal Jawab yang terkenal itu (dalam Soal Jawab beliau menggunakan inisial Mhd. Ms). 

Berdirinya Lajnah Ahli-Ahli Hadits Indonesia ini merefleksikan keinginan Moenawar Chalil dan kawan-kawannya untuk mengembangkan dan mempermudah kajian ilmu hadits. Lajnah juga berupaya untuk menerbitkan sebuah buku fiqih standar berdasarkan madzhab Ahli Hadits, sebagai pembanding bagi buku-buku fiqih tradisional yang telah ada. Lajnah meyakini bahwa ilmu hadits saat itu cenderung kurang mendapat perhatian ketimbang ilmu fiqih. 

Yang unik, Lajnah berusaha mengkompromikan kedua aliran pemikiran Islam saat itu yang sering dianggap bersebarangan, yakni antara aliran Kaum Tua dengan aliran Kaum Muda. Langkah ini dilakukan dengan mengangkat KH. Hasyim Asy’ari (tokoh Kaum Tua dan Pendiri Nahdhatul Ulama) dan Ustadz A. Hassan (tokoh Kaum Muda dan ulama Persatuan Islam) sebagai penasihat Lajnah.

Buku Fiqih Ahli Hadits sebagaimana dicita-citakan oleh Lajnah tersebut diatas sempat terbit dengan judul “Al Fiqh al Nabawy : Fiqih Berdasar Atas Pimpinan Nabi S.A.W” yang diterbitkan oleh Penerbit Al Ma’murijah Solo dalam 18 volume. Setiap volume terdiri atas empat puluh halaman dan dikeluarkan secara terpisah sehingga masyarakat umum mampu membelinya. 

Pada masa pendudukan Jepang, Moenawar Chalil terlibat dalam kegiatan birokrasi. Di bawah tekanan Pemerintahan Pendudukan Jepang,  Beliau terpaksa menerima tawaran mereka untuk menjabat Kepala Jawatan Agama Karesidenan Semarang. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II dan Negara Republik Indonesia lahir pada Agustus 1945, Gubernur Jawa Tengah saat itu - R. Wongsonegoro – meminta Beliau untuk tetap menjabat Kepala Jawatan Agama Karesidenan Semarang hingga tahun 1951. 

Pada tahun 1951, karena berbagai alasan, Beliau mengundurkan diri dari jabatan Kepala Jawatan Agama Karesidenan Semarang sekaligus Pegawai Negeri pada usia 43 tahun tanpa hak pensiun.

Kegiatan Moenawar Chalil dalam menulis sempat terhenti sejak Beliau terlibat dalam kegiatan birokrasi. Namun demikian, pada tahun 1947 – di tengah kesibukan sebagai seorang birokrat – Beliau sempat menulis buku berjudul “Al-Qu’an sebagai Mu’jizat Terbesar dan Peristiwa 17 Ramadhan” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. 

Saat menjabat sebagai Kepala Jawatan Agama Semarang, Moenawar Chalil sempat mengusulkan kepada Departemen Agama untuk membentuk Majelis Ulama dengan model mirip Hai’ah Kibarul Ulama di Mesir. Usulan ini dimaksudkan untuk mempersempit gap/jarak antar ulama dan menciptakan jaringan agar di antara mereka saling memahami, terlepas dari afiliasi mereka. Usulan ini dilatarbelakangi fakta pada saat itu dimana para ulama sering mengeluarkan fatwa yang berbeda mengenai masalah yang sama yang disebabkan oleh perbedaan pandangan keagamaan dan orientasi politik mereka. Beliau menyakini bahwa keadaan tersebut hanya menciptakan kebingungan umat.

Ketika Departemen Agama menyelenggarakan Konferensi Ulama untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1951, Moenawar Chalil menyambut baik inisiatif tersebut. Beliau merekomendasikan bahwa konferensi semacam ini dilanjutkan dan diperluas, jika perlu, menjadi lembaga permanen yang dinamakan Dar al-Ifta’, sebagai lembaga keagamaan di Indonesia dengan mandat penuh untuk mengeluarkan fatwa kepada umat.

Setelah pengunduran diri Beliau dari pemerintahan pada tahun 1951, Moenawar Chalil memilih bergabung ke Partai Masyumi. Beliau kemudian diangkat menjadi salah seorang pengurus Majelis Syura Pusat Masyumi yang bertugas mengeluarkan fatwa secara reguler untuk menjawab berbagai masalah berkaitan dengan Partai dan umat. Beliau juga pernah menjadi Penasihat Front Antikomunis Indonesia yang dibentuk oleh Isa Anshary, seorang ulama Persis sekaligus pemimpin Masyumi yang terkenal.

Pada akhir tahun 1951, Moenawar Chalil ditahan oleh pihak berwajib sehubungan dengan ditemukannya sebuah dokumen di Cirebon yang berasal dari Darul Islam (DI/TII) yang menyatakan pengangkatannya sebagai Gubernur DI/TII untuk Jawa Tengah sehingga dituduh akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Karena tuduhan itu tidak terbukti, setelah tujuh bulan lamanya ditahan, Beliau dibebaskan sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri pada tahun 1952.

Sekitar pertengahan Oktober 1952, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta meminta Moenawar Chalil untuk kembali menjadi Pegawai Negeri dengan menawarkan jabatan yang cukup tinggi di pemerintahan, tetapi ditolaknya dengan alasan akan memusatkan seluruh tenaga, pikiran dan waktunya untuk menulis, melanjutkan kegiatan yang telah terhenti sejak 1941. 

Sebagai tokoh Masyumi, Moenawar Chalil pernah membuat gempar mengeluarkan fatwa menjelang Pemilu tahun 1955, bahwa memenangkan Pemilu adalah kewajiban agama. Bahkan Beliau menyamakan Pemilu dengan Jihad. Menurut Beliau, seorang Muslim yang bersedia berperang bagi kemenangan Islam di semua keadaan, termasuk juga dalam Pemilu, berhak mendapat pahala sebagaimana pahala yang dijanjikan Allah kepada kaum Mujahidin. Beliau juga menganjurkan dengan sangat agar kaum Muslimin membelanjakan hartanya untuk masalah-masalah politik sehingga partai politik Islam tak kekurangan dana dan dapat menjalankan aktivitasnya untuk memenangkan pemilu.

Mengapa Moenawar Chalil berfatwa demikian ? Agaknya disebabkan kondisi politik dan sosial saat itu yang memang membutuhkan fatwa yang demikian. Seperti diketahui, pada Pemilu tahun 1955 terbuka peluang untuk mendiskusikan kembali dasar negara. Saat itu mengemuka 3 opsi dasar negara, yakni Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. Partai-partai Islam saat itu, seperti Masyumi, NU, dan Perti, bahu membahu untuk mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Dengan kondisi yang demikian itulah, Beliau berijtihad dengan mengeluarkan fatwa wajib memenangkan  partai Islam dalam Pemilu 1955. 

Moenawar Chalil mewariskan banyak peninggalan ilmiah, baik berupa kitab/buku maupun artikel-artikel tersebar. Tulisan-tulisan Beliau banyak diterbitkan di berbagai majalah dan surat kabar di Indonesia, misalnya di Majalah Aliran Islam Bandung, Hikmah Jakarta, Daulah Islamiyah Jakarta, Al-Islam Medan, Harian Pemandangan Jakarta, Abadi Jakarta, dan Suara Merdeka Semarang.

Ketika pada akhir tahun 1957 Himpunan Pengarang Islam mengadakan angket, Moenawar Chalil terpilih menjadi salah satu dari 10 Pengarang Islam Paling Terkenal saat itu di Indonesia, bersama dengan HAMKA, M. Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Firdaus AN., Tamar Djaja, A. Hassan, M. Isa Anshary, TM. Hasbi ash Shiddieqy, dan Zainal Arifin Abbas.

Berikut ini daftar beberapa karya Beliau yang ada dalam koleksi kami :

1.“Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam”. Sebuah karya monumental tentang sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Karya ini mulai ditulis pada pertengahan tahun 1355 Hijriah dan selesai pada pertengahan tahun 1358 Hijriah, serta mulai diterbitkan pada akhir tahun 1936 M dan selesai terbit pada akhir tahun 1939 M. Beliau kemudian merevisi kembali kitab ini setelah Indonesia merdeka hingga menjadi seperti yang ada di tangan kita hari ini. Kitab ini merupakan salah satu pionir dalam penulisan sirah nabawiyah dalam bahasa Indonesia. 

Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman pernah menyampaikan terstimoni atas kitab ini : “Saya telah berkali-kali membaca, mempelajari, dan memperhatikan buku tarikh Nabi Muhammad karangan Saudara (Moenawar Chalil). Saya selama ini belum pernah membaca buku riwayat hidup Nabi Muhammad yang sepanjang itu, terutama riwayat peperangan yang dipimpin oleh Beliau sendiri, selain dari buku karangan saudara. Buku tarikh Nabi Muhammad karangan Saudara itulah yang seringkali saya baca dan saya perhatikan dalam saat yang terluang, selama saya memimpin Angkatan Perang Republik Indonesia untuk melawan Belanda sekarang ini”. 

Kitab ini telah berkali-kali dicetak, terakhir dicetak dalam 3 jilid besar oleh Penerbit Gema Insani Press. Yang ada pada koleksi kami adalah cetakan terakhir versi Penerbit Bulan Bintang tahun 1993 – 1994 yang dicetak dalam 8 jilid sedang. 

2.“Kembali Kepada Al Qur’an dan As Sunnah”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Kitab inilah yang memaparkan pandangan Moenawar Chalil tentang kewajiban berpegang teguh terhadap sunnah dan menghindari bid’ah. Beliau juga membahas tentang dasar-dasar hukum Islam, taqlid, ijtihad, ittiba’, madzhab, dan definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Secara umum, kitab inilah yang paling komprehensif menampilkan pemikiran pembaharuan Beliau.

3.“Definisi dan Sendi Agama”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Kitab ini merupakan kumpulan karangan-karangan Moenawar Chalil yang telah dimuat dalam beberapa harian dan majalah Islam sejak tahun 1950 sampai dengan 1960 dan diterbitka setelah wafatnya Beliau. Dalam kitab ini Beliau membahas tentang definisi ad Din (agama), sendi (dasar) agama Islam, Islam sebagai agama fitrah, dan kepentingan dan kemanfaatan agama (saduran atas kitab ar Raddu ‘ala Dahriyyin karya Jamaluddin al Afghani).

4.“Nilai dan Hikmat Puasa”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Kitab ini merupakan kumpulan karangan-karangan dan merupakan kelanjutan dari buku Definisi dan Sendi Agama. Dalam kitab ini ditampilkan artikel-artikel Moenawar Chalil yang berkaitan dengan ibadah Puasa dan segala problematikanya.

5.“Funksi Ulama dalam Masyarakat dan Negara”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Dalam kitab kecil ini Moenawar Chalil menuliskan beberapa riwayat dari Nabi yang menunjukkan kedudukan ulama, dan ulama sebagai pewaris para Nabi. Beliau juga paparkan siapa saja yang termasuk ulama yang bukan pewaris para Nabi, sehingga dapat diketahui mana sesungguhnya para ulama yang patut dihormati dan mana ulama yang tidak seharusnya dihormati, bahkan harus dijauhi oleh umat Islam.

6.“Kepala Negara dan Permusyawaratan Rakyat Menurut Ajaran Islam”, diterbitkan oleh A. B. Sitti Sjamsijah Solo. Kitab ini merupakan gabungan dari 2 kitab kecil Beliau, yakni “Chalifah Sepanjang Pimpinan Qur’an dan Sunnah” yang ditulis pada tahun 1957 dan buku “Adakah Ulil Amri di Indonesia” yang ditulis pada tahun 1958. Sebagaimana terlihat dari judulnya, kitab ini berisi pendapat Beliau tentang pemimpin dalam Islam.

7.“Riwayat Sayidah Chodijah dan Sayidah Aisyah Permaisuri Nabi Muhammad SAW”, diterbitkan oleh A. B. Sitti Sjamsijah Solo. Kitavb ini merupakan gabungan dari 2 buku, yakni “Riwayat Sayidah Chodijah” dan buku “Riwayat Sayidah Aisyah” yang keduanya ditulis pada tahun 1953. 

8.“Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Seperti terlihat dalam judulnya, kitab ini berisi biografi empat Imam Madzhab. Tak lupa didalamnya disisipkan pembahasan tentang perintah para Imam untuk mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah serta larangan taqlid kepada mereka.

9.“Peristiwa Isra’ dan Mi’raj”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Kitab ini selesai ditulis dan direvisi pada tahun 1959. Kitab ini membahas seluk-beluk riwayat-riwayat tentang Isra’ Mi’raj. Dalam kitab ini, terasa sekali kepiawaian Moenawar Chalil dalam ilmu hadits. Tak lupa Beliau sisipkan beberapa riwayat yang tidak shahih perihal Isra’ Mi’raj sebagai peringatan. 

10.“Nilai Wanita”, diterbitkan oleh Al Ma’arif Bandung. Kitab ini berisi pembahasan tentang seluk beluk wanita dalam sudut pandang Islam dan diberi kata pengantar oleh M. Isa Anshary dari Persatuan Islam. Kitab ini juga memuat beberapa tanggapan atas buku Presiden RI pertama Soekarno yang berjudul Sarinah.

11.“Al Qur’an dari Masa ke Masa”, diterbitkan oleh J. B. Wolters dan kemudian oleh Ramadhani. Kitab ini diberi kata pengantar oleh M. Natsir dan secara umum berisi sejarah Al Qur’an dari masa ke masa.

Terjemahan dan komentar atas buku “Mengapa Kaum Muslimin Mundur” karya Al Amir Syakib Arsalan, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Dalam kitab ini, Moenawar Chalil menerjemahkan salah satu risalah terkenal dari Al Amir Syakib Arsalan yang berjudul Limmadza Ta-akhkharul Muslimun, yang berisi peringatan kepada segenap umat Islam terutama para ulama agar masing-masing mengoreksi kesalahan-12.kesalahannya sendiri terhadap Islam. Dalam kitab ini Moenawar Chalil tidak hanya menerjemahkan saja, namun juga memberikan komentar singkat (ta’liq).

13.“Al Mukhtarul Ahadits “Himpunan Hadits-Hadits Pilihan”, diterbitkan oleh Bulan Bintang. Karya ini merupakan perwujudan keinginan Moenawar Chalil untuk menulis kitab Fiqih berdasarkan madzhab Ahlul Hadits. Beliau bermaksud menulis kitab ini dalam belasan jilid. Sayang sekali, kitab ini tidak sempat diselesaikan oleh Beliau hingga wafat. Yang ada pada koleksi kami hanya sampai pada jilid kedua (pembahasan tentang Shalat). Menurut informasi yang ada pada anotasi kitab Kelengkapan Tarikh Nabi, kitab ini sempat terbit hingga pembahasan tentang Zakat. Wallahu a’lam.

14.Tafsir Quran “Hidaajatur Rahmaan”, diterbitkan oleh A. B. Sitti Sjamsijah Solo dalam bahasa Jawa huruf latin. Kitab ini hanya terbit satu jilid saja (sampai dengan selesai tafsir Juz 1). Moenawar Chalil tidak sempat menyelasaikan kitab ini.

15.“Chutbah Nikah, diterbitkan oleh A. B. Sitti Sjamsijah Solo. Kitab tipis ini berisi beberapa contoh teks khutbah pernikahan.

16.“Al Fiqhun Nabawy : Fiqh Berdasar atas Pimpinan Nabi SAW”. Kitab ini merupakan produk dari berdirinya Lajnah Ahli-Ahli Hadits Indonesia sebagaimana telah disinggung di atas. Terdiri atas 18 volume yang kemudian dicetak dalam 1 jilid buku. Kitab ini hanya selesai sampai dengan pembahasan tentang thaharah. Kitab ini merupakan kerja bersama antara Moenawar Chalil dengan KH. Imam Ghazaly. K. H. Imam Ghazaly bertindak selaku penyusun hadits-haditsnya, sedangkan Moenawar Chalil bertindak sebagai penerjemah, pentakhrij, pentahqiq, dan penta’liq. 

Moenawar Chalil sendiri wafat pada tanggal 23 Mei 1961 pada usia 53 tahun di Kampung Kulitan Semarang, setelah menderita kanker paru-paru dan tumor otak selama kurang lebih dua bulan lamanya.

Semoga Allah merahmati Beliau.




Referensi :
Paham Keagamaan Kaum Reformis, Thoha Hamim
Koleksi Pribadi karya-karya Moenawar Chalil

___________________________
~ Wahyu Indra Wijaya ~
Lajnah Makalah Sejarah
_____________________________

Comments