Benarkah Majapahit Pernah Menakluki Tanah Bugis?

OLEH: La Bougiez

Cristian Pelras menjelaskan keadaan sebenar tentang isu klaim jajahan Majapahit di Sulawesi Selatan secara ringkas dalam penulisanya bertajuk:


MASALAH PENGARUH MAJAPAHIT DI SULAWESI SELATAN

 Usaha kerajaan Jawa Majapahit menguasai perdagangan Luwu' boleh jadi berpengaruh terhadap kemunduran Luwu dan Cina(sebuah daerah di Wajo) di bidang ekonomi dan politik, menurut pendapat Bulbeck, tetapi saya tidak bersependapat dengan pandangan tersebut yang mengutarakan bahwa kerajaan Luwu pernah berada dibawah pengaruh Majapahit pada abad ke 14 didalam penulisanya (Bulbeck,Historical Archaeology,478). Saya beralasan bahwa betapa sedikit dan tersangat baru kemunculan unsur-unsur kebudayaan Jawa dan pengaruhnya pada Luwu dan di tanah Bugis amnya.

Tanggapan bahwa pernah ada pengaruh Jawa di Sulawesi adalah sesuatu yang umum pada zaman Belanda,sehingga beberapa pendapat mengatakan para to-manurung dan to-tompo pendiri dinasti Bugis dan Makassar adalah pendatang Jawa,ini disebabkan klaim yang di nyatakan pada bait-bait
Nagarakertagama terhadap daerah-daerah satelit Majapahit;

"...the countries of
Bantayan(Bantaeng),the principal is Bantayan,on the second hand Luwuk, then Uda, Making a trio; these are the most important of those that are one island" (Pigeaud,Nagarakertagama (4):17)

Namun, kalau Majapahit betul-betul telah berkuasa di Luwu' atau di Tanah Bugis, tentu hal demikian meninggalkan tanda dan sisa peninggalan, yang ternyata sama sekali tidak ada. Misalnya, unsur-unsur khas budaya Jawa seperti gamelan, wayang kulit,cerita Ramayana dan Mahabharata atau batik, seperti mana yang diterima pada sebahagian daerah Nusantara Barat yang pernah ditaklukan ataupun yang memiliki hubungan erat dengan Majapahit, misalnya Sumatera Selatan (Palembang atau Jambi),di Tanah Melayu termasuk Patani, di Kalimantan (Brunei,Banjarmasin dan Kutei) tetapi hal ini sama sekali tidak berlaku di Sulawesi Selatan. Setahu saya,tidak ada juga keluarga Raja Bugis yang mengaku sebagai keturunan langsung dari nenek-moyang yang berasal dari sebuah dinasti Jawa pra-Islam malah dalam upacara perkahwinan bangsawan Bugis ada semacam penolakan terhadap unsur Jawa dimana mempelai lelaki harus menyatakan bahwa dia bukan keturunan "La Bulisa seorang pelayan Dewata dunia bawah yang telah mengahwini puteri raja Jawa". Di Sulawesi gelaran bangsawan jawa seperti yang di guna pakai di Kutei antaranya Raden Mas, Raden Anom, dan sebagainya tidak ada sama sekali.

Dari segi organisasi kerajaan dan susunan masyarakat,baik dalam Sure' Galigo maupun dalam bahagian-bahagian lain lontara yang mengambarkan sistem politik pra-Islam, tidak ditemukan konsep atau istilah nagara, mandala, watek, mancapat atau desa. Tidak pula disebut adanya jabatan seperti bujangga, demang, empu,pamegat (samegat), rangga, rama dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa kalaupun Sulawesi Selatan pernah didatangi oleh pedagang atau pengunjung dari pulau Jawa, mereka tidak mencampuri bidang politik malah budaya mereka tidak dianggap oleh para penguasa setempat sebagai contoh yang patut diikuti.

Belum juga ditemukan prasasti yang ditulis, baik di batu mahupun di logam dalam bahasa apapun juga yang membuktikan pernah wujudnya hubungan politik antara Sulawesi Selatan dengan mana-mana kerajaan diluar kepulauan itu, khususnya Jawa. Tidak pula ada puing-puing candi, termasuk candi kecil sekalipun. Berhala-berhala yang berkaitan dengan agama Hindu juga tidak ada, berhala-berhala yang ditemukan di daerah ini berkaitan dengan agama Buddha, yang berasal dari zaman sebelum agama Buddha berkembang di Jawa Tengah dan lebih membuktikan hubungan dengan Nusantara barat( Sumatera),Sri Langka dan India.

Memang dalam Sure Galigo terdapat tokoh dewata yang memakai gelaran nama atau penggalan nama yang berasal dari bahasa Sanskrit seperti La Patigana (Ganapati), Sangkuru (Sang Guru) Wira, Mutia Unru, Opu Samudda(Samudera), Opu Talaga, Dettia (Aditya) Unru, La Megga (Mega) Aji, atau La Toge Langi anak sulung Datu Patoto dan Dato Palinge yang diturunkan ke Bumi sebagai raja pertama di dunia tengah yang bergelar Batara Guru. Namun baik dari sudut pandang teogoni( mitos asal usul para dewa) mahupun dari sudut pandang teologi, sistem kepercayaan Bugis pra-Islam sangat berbeda, tidal hanya dari agama Hindu India, tetapi juga dari agama Hindu yang telah bercampur dengan unsur-unsur kepercayaan asli Nusantara seperti yang dianuti oleh orang Jawa dahulu kala dan orang Bali sehingga kini.

Kongsep pokok agama Hindu seperti  yang berkaitan dengan kategori "suci" dan "kotor", konsep tentang perpindahan jiwa dan hukum karma, konsep tentang pembahagian masyarakat yakni brahmana, ksatrya, weisjya dan sudra, kalender pesta agama yang berdasarkan wuku dan tempat pemujaan yang berupa kuil atau pura serta sistem persembahan (sesajen, tolak bala,caru) dengan jenisnya masing-masing (dewayadnya, manusayadnya , butayadnya) agak berbeza dari apa yang digambarkan dalam Sure Galigo tentang kehidupan beragama serta upacara-upacara Bugis sebelum islam.

Namun, ada beberapa unsur seperti nama bissu yang mungkin berasal dari kata biksu "pendeta Buddha", pemakaian bunyi-bunyian seperti kancnci(kancing) atau gamaru, yang dipakai juga dalam upacara aliran Tantra, yang mampu memberikan sebuah hipotesis bahwa pada zaman lampau pernah ada pergaulan superfisial antara asal usul tradisi Bissu dengan kelompok penganut Buddha Tantra (mungkin komuniti pedagang dari Nusantara Barat atau India Selatan).

Jadi jikalaupun ditemukan sejumlah kata yang berasal dari bahasa Sanskrit dalam bahasa Bugis tidak seharusnya dianggap sebagai tanda pengaruh dari bahasa Jawa. Bahasa Melayu kuno pun banyak mengandungi kosa kata dari bahasa Sanskrit.

Berdasarkan semua ulasan diatas, kesimpulan dapat dibuat bahwa hubungan antara Jawa pada zaman Majapahit dengan negeri-negeri Bugis tidaklah begitu erat dan bahwa pengaruh budaya Jawa pada budaya Bugis tidak seberapa besar.

Sumber: MANUSIA BUGIS /MS 66
___________________________
~ La Bougiez ~
Lajnah Sejarah Dan Tradisi
_____________________________


Comments