Pengalaman-Pengalaman Awal Pengajaran Kitab-Kitab Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Indonesia Periode Tahun 1920-an Sampai dengan Tahun 1980-an

OLEH: Wahyu Indra Wijaya


(Sebuah Rekaman Sejarah)

Muqaddimah
Sebagian kalangan meyakini bahwa ajaran Wahhabi mula-mula masuk ke Indonesia pada
permulaan awal abad ke-19 di Minangkabau yang dibawa oleh 3 orang Haji yang pulang dari
Makkah, yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Ketiga haji ini bersama-sama
dengan ulama-ulama Minang setempat yang digelari “Harimau nan Salapan” secara bersama-
sama kemudian menggelorakan gerakan Paderi yang bertujuan melakukan pemurnian ajaran
Islam.

Gerakan ini akhirnya berujung pada perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Tuanku
Imam Bonjol merupakan pemimpin Paderi generasi kedua yang paling menonjol dalam
berperang melawan Belanda.

Akan tetapi, penelusuran kami lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak benar gerakan Paderi di
Minangkabau tersebut telah terpengaruh secara signifikan lahir-batin oleh ajaran Wahhabi.
Gerakan Paderi hanya mengambil dari Wahabi aspek gerakan politik saja, bukan aspek
intelektualnya.

Selanjutnya, pada awal-awal Abad ke-20 Masehi gerakan pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia berlangsung dengan dahsyat dan signifikan. Lagi-lagi, ajaran Wahhabi dianggap
berada dibalik munculnya gerakan pembaharuan tersebut.

Namun jika ditelaah lebih lanjut, pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pada awal-awal
abad ke-20 tersebut mendapat pengaruh paling besar dari dua sejoli Al Azhar : Syaikh
Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.

Hanya saja memang sangat diyakini bahwa kedua tokoh ini, terutama Rasyid Ridha, mengambil
ilham pembaharuannya salah satunya dari gerakan dakwah salafiyyah yang digerakkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya serta yang kemudian diterjemahkan ulang
dalam gerakan yang lebih massif dan terstruktur oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di
negeri Najd (Gerakan Wahhabi).

Pandangan seperti tersebut di atas menjalar ke Indonesia. Tokoh-tokoh pembaharuan Islam di
Indonesia, yang dimotori oleh ulama-ulama Muhammadiyah, Al Irsyad, dan Persatuan Islam
(Persis), diyakini juga terpengaruh oleh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Istilah “Wahhabi” menjadi populer saat itu di Indonesia. Ada yang menyikapinya dengan penuh
kebanggaan. Ada juga yang menyebutnya sebagai sebuah celaan, terutama kalangan ulama
tradisional. Tokoh-tokoh seperti Haji Rasul dan anaknya (HAMKA), KH. Ahmad Dahlan,
Ahmad Surkati, A. Hassan, M. Natsir, dan lain-lain dianggap (terutama oleh lawan-lawannya)
sebagai pembawa ajaran Wahabi di Indonesia.

Sejauh mana kebenaran klaim tersebut tentu perlu didiskusikan lebih lanjut. Terutama jika kita
dihadapkan oleh pertanyaan : apakah tokoh-tokoh tersebut telah mengajarkan kitab-kitab karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada murid-muridnya ?

Tentunya dengan sederhana bisa diasumsikan : seseorang tak bisa dianggap sebagai pembawa
ajaran Wahabi jika tidak (belum) terbukti pernah mengajarkan kitab-kitab Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab.

Menjawab pertanyaan di atas ternyata tidak sederhana. Sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh
penting dalam organisasi yang dianggap Wahabi tersebut ternyata tidak atau belum diketahui
mengajarkan kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ilham pembaharuan yang
mereka gaungkan lebih condong bersumber pada pembaharuan yang dibawa oleh Syaikh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Atau jika kita dipaksa untuk tetap mengaitkannya dengan
gerakan Wahhabi, maka gerakan pembaharuan yang dibawa tokoh-tokoh tersebut diilhami oleh
gerakan Wahhabi yang telah dimodifikasi oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Jadi tidak langsung mengambil sumbernya kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kita ambil contoh apa yang terjadi dengan KH. Ahmad Dahlan. Salah seorang muridnya – KRH.
Hadjid – menceritakan tentang buku-buku yang dibaca dan diajarkan oleh gurunya tersebut
dengan mengatakan bahwa :

“Pada mulanya kitab yang dipelajari adalah kitab yang biasa dipelajari kebanyakan ulama di
Indonesia dan ulama Makkah. Misalnya dalam ilmu Aqaid ialah kitab-kitab beraliran
Ahlussunnah Wal Jamaah. Ilmu Fiqih menggunakan kitab dari madzhab Syafi’iyyah, dalam ilmu
Tasawuf merujuk pada Imam al Ghazali. Juga membaca Tafsir al Manar karya Rasyid Ridha,
Majalah al Manar dan Tafsir Juz Amma karya Muhammad Abduh, dan al Urwatul Wutsqa karya
Jamaluddin al Afghani. Selama mengikuti beliau saya sering melihat kitab yang menjadi rujukan
seperti Kitab Tauhid Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amm karya Muhammad Abduh, Kitab
Kanzul Ulul, Dairatul Ma’arif karya Farid Wajdi, Kitab fil Bid’ah karya Ibnu Taimiyah
sebagaimana kitab at Tawassul wal Wasilah, Kitab Izharul Haq karya Rahmatullah al Hindi dan
kitab Hadits karya ulama madzhab Hanbali.”
(selesai nukilan, diambil dari Kitab Pelajaran KHA Dahlan)

Terlihat bagaimana pengaruh kuat Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam
pemikiran pembaharuan KH. Ahmad Dahlan. Selain itu, kesaksian dari K. R. H. Hadjid tersebut
juga membuktikan bahwa KH. Ahmad Dahlan saat itu belum mengajarkan kitab-kitab Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab. Jadi, seandainya benar bahwa KH. Ahmad Dahlan itu
terpengaruh oleh gerakan Wahhabi, maka jelas bahwa yang dimaksud adalah gerakan Wahhabi
yang telah mendapat modifikasi dan pengaruh dari Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
tidak langsung kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Yang menarik, meski tidak mempelajari karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab secara
langsung, KH. Ahmad Dahlan mempelajari kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang
mana ulama yang satu ini menjadi inspirasi utama dari gerakan dakwah yang diusung oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Apa yang kita dapatkan dari KH. Ahmad Dahlan di atas juga bisa kita dapatkan dari tokoh-tokoh
pembaharuan lainnya. Mereka tidak (atau belum) terbukti mengajarkan langsung kitab-kitab
karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sebutan Wahhabi kepada mereka pada saat itu lebih bersifat celaan yang dilontarkan oleh pihak
yang tidak sepahaman dengan mereka dikarenakan terdapat kemiripan ajaran antara mereka
dengan ajaran Wahhabi, terutama dalam hal pencelaan terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Kemiripan ajaran ini memang tidak bisa dielakkan lagi, karena memang tokoh-tokoh
pembaharuan pada saat itu selain terpengaruh dakwah Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha yang sangat menentang bid’ah, mereka juga “memberanikan diri” untuk mulai
mempelajari kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim,
sebagaimana yang terjadi pada diri KH. Ahmad Dahlan di atas. Namun begitu, meski mereka
telah familiar dengan karya-karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, namun
mereka belum menyentuh langsung karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Jika demikian, maka kapan sebenarnya ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai
masuk dan diajarkan secara langsung di Indonesia ?
Tulisan ini mencoba untuk menelusuri pengalaman-pengalaman pertama pengajaran kitab-kitab
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Indonesia, khususnya pada periode tahun 1920-an
sampai dengan tahun 1980-an.

Pengalaman Pertama : Teungku Haji Ahmad Hasballah dan Dayah Indrapuri
Referensi yang ada pada kami menunjukkan bahwa pengalaman pertama pengajaran kitab-kitab
karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Indonesia justru muncul dari tokoh di luar
organisasi-organisasi tersebut.

Pengalaman pertama ini muncul di bumi Serambi Makkah Aceh, dan dipelopori oleh seorang
ulama bernama Teungku Haji Ahmad Hasballah (lahir pada tanggal 03 Juni 1888 M atau 23
Ramadhan 1305 H) dari Dayah Indrapuri, Aceh.

Sejarawan Aceh A. Hasymy menulis bahwa pada tahun 1922 Teungku Haji Ahmad Hasballah
diangkat, berdasarkan musyawarah ulama-ulama setempat, sebagai pemimpin Dayah Indrapuri.
Teungku Haji Ahmad Hasballah sendiri diketahui pernah belajar di Makkah.

Selama berada dibawah kepemimpinan Teungku Haji Ahmad Hasballah, Dayah Indrapuri
semakin maju dan bertambah banyak murid-murid yang datang untuk belajar. Teungku Haji
Ahmad Hasballah saat itu bertekad untuk memperbaharui pendidikan Islam di Dayah Indrapuri
dengan meningkatkan pendidikan iman dan ibadah. Sesuai dengan ajaran yang diterimanya
ketika di Makkah – yakni ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab – maka iman dan ibadah
yang murni adalah syarat mutlak bagi umat Islam jika ingin bangkit dan maju serta terhormat
kembali.

A. Hasymy kemudian menyebutkan bahwa dalam melaksanakan program pembaharuan
pendidikan Islam di Dayah Indrapuri tersebut, Teungku Haji Ahmad Hasballah menggunakan
Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai salah satu kitab referensi
dalam kegiatan belajar mengajar.

Teungku Haji Ahmad Hasballah sendiri di kemudian hari setelah berdirinya Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) diangkat menjadi Ketua Majelis Syura PUSA. Setelah proklamasi
kemerdekaan RI, Beliau bersama-sama dengan para ulama Aceh lainnya mengeluarkan fatwa
jihad yang menyatakan kewajiban jihad untuk mempertahankan kemerdekaan dan jika tewas
dalam perjuangan itu maka mati syahid. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 15 Oktober 1945,
seminggu sebelum fatwa resolusi jihad K. H. Hasyim Asy’ari dikeluarkan.
Teungku Haji Ahmad Hasballah wafat pada 26 April 1959 Masehi atau bertepatan pada tanggal
17 Syawal 1378 Hijriah.

Pengalaman Kedua : Syaikh Ammar Faqih dan Pondok Pesantren Maskumambang
Gresik
Pengalaman kedua muncul dari Pulau Jawa, yakni pengalaman Pondok Pesantren
Maskumambang Gresik Jawa Timur. Pada awalnya, pesantren ini bercorak tradisionalis seperti
pesantren pada umumnya saat itu. Namun ketika kepemimpinan dipegang oleh Syaikh Ammar
Faqih sepulangnya belajar di Makkah, haluan pesantren mulai pelan-pelan diubah, hingga
kemudian Pesantren Maskumambang menjadi salah satu pesantren bercorak “Wahhabi” yang
mengajarkan kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Menurut penelitian Haji Mundzir Suparta dalam bukunya berjudul “Perubahan Orientasi Pondok
Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat”, Syaikh Ammar Faqih
terpengaruh ajaran Wahhabi yang diajarkan oleh gurunya di Makkah yang bernama Syaikh Umar
Hamdan. Wallahu a’lam.

Pendekatan yang dilakukan Syaikh Ammar Faqih, yang kemudian dilanjutkan oleh penerus-
penerusnya, dalam mengubah haluan pesantren dilakukan dengan sangat hati-hati sekali dan
memperhatikan kondisi sosiologis dan psikologis masyarakat yang ada di sekitar pesantren.
Syaikh Ammar Faqih yang sebenarnya sudah terpengaruh “langsung” oleh ajaran dan karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ketika Beliau belajar di Makkah, namun saat memimpin
Pesantren Beliau belum berkenan langsung mengajarkan kitab-kitab Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab kepada santri dan masyarakat di sekitarnya karena beberapa alasan.
Dalam situs resmi Ponpes Maskumambang diceritakan metode dakwah Syaikh Ammar Faqih
tersebut di atas :

“Pada masa kepemimpinan KH. Ammar Faqih, Maskumambang menjadi pusat penyebaran
gerakan reformasi dan gerakan salafiyah, yakni gerakan yang mengajak ke arah perbaikan di
bidang aqidah serta memurnikan syari’at dari segala bid’ah, khurafat serta sisa-sisa animisme
yang telah merusak syari’at dan mengajak untuk menolak segala taqlid buta dan fanatik

madzhab, mengajak kembali ke sumber murni agama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perubahan faham keagamaan dimulai dengan mengganti kitab pegangan santri dalam bidang
aqidah, dari kitab Aqidah al-Awwam diganti kitab karangan beliau berjudul Tuhfatul ummah fil
‘aqaaid wa raddi mafaasid. Beliau tidak menggantinya dengan kitab al-Tauhid karya
Muhammad bin Abdul Wahab, karena alasan sosiologis, yakni adanya anggapan negatif di
kalangan masyarakat dan tokoh-tokoh ulama terhadap para tokoh Wahabi. Adapun pelajaran
Fiqih, tetap menggunakan kitab-kitab yang dipergunakan KH. Muhammad Faqih. Dengan
demikian, menurut penuturan santri KH. Ammar Faqih, pada masa awal kepemimpinan beliau
tradisi yang ada masih tetap dipertahankan.”
(selesai nukilan)

Tentang Kitab “Tuhfatul Ummah” karya Syaikh Ammar Faqih sebagaimana disinggung di atas,
kita simak resensi kitab tersebut sebagaimana kami nukil dalam website resmi Pesanteren
Maskumambang :

“Selain memimpin pesantren, Beliau (Syaikh Ammar Faqih) mencurahkan fikiran untuk
kemajuan ummat Islam dalam bentuk tulisan. Salah satu tulisan beliau berjudul Tuhfatul
Ummah fil ‘Aqaaid wa Raddi Mafaasid, diterbitkan di Mesir dengan disertai sambutan dari
ulama-ulama Mesir. Tuhfatul Ummah Fil ‘Aqaaid wa Raddi Mafaasid terdiri atas empat bab.
Bab pertama membahas pengertian Tauhid dan makna kalimat tahlil. Menurut beliau, tauhid
secara etimologis adalah ketentuan bahwa sesuatu itu satu. Sedangkan menurut terminologi
syari’ah, tauhid berarti ketentuan bahwa dzat yang senantiasa Esa dan tidak ada yang lain
bersama-Nya, baik dalam dzat, sifat atau pebuatan. Kalimat tahlil, La ilaha illa Allah, beliau
artikan sebagai penetapan tauhid dan pengingkaran terhadap segala yang dapat menyekutukan-
Nya.”

“Bab dua menguraikan hukum tauhid dan kerasulan Muhammad. Tauhid dalam bab ini
dijelaskan sebagai inti ajaran agama yang mengandung konsekwensi setiap amal akan diterima
jika didasari tauhid. Bab tiga menjelaskan seputar aqidah yang benar dan yang rusak,
perdebatan ulama dalam bidang ilmu kalam, masalah Ahlussunnah Waljama’ah, dan masalah
pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam aspek aqidah, KH. Ammar Faqih lebih banyak
menekankan pada masalah yang berhubungan dengan bid’ah. Menurut beliau, kebiasaan
membakar kemenyan, mendirikan bangunan di makam, menyarungkan kain di tempat-tempat
keramat, semedi, ziarah ke makam para wali dengan mengharapkan sesuatu, dan amalan-
amalan yang dianggap tradisional supaya diberantas, karena tidak sesuai dengan kebiasaan
ulama salaf dan bukan dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Bab empat berisi ringkasan tentang
ilmu kalam dan sifat-sifat Allah serta Rasul.”
(selesai nukilan)

Ada kisah menarik terkait kitab Tuhfatul Ummah ini. Kisah ini menyangkut respon K. H.
Muhammad Faqih (ayah kandung Syaikh Ammar Faqih) atas kitab Tuhfatul Ummah karya
anaknya tersebut. Berikut ini kisahnya :

Pembaharuan yang terjadi di Pondok Pesantren Maskumambang yang dimotori oleh Syaikh
Ammar Faqih menimbulkan reaksi dari kalangan keluarga, terutama dari sang ayah K. H.
Muhammad Faqih. Reaksi negatif sang ayah bermula sejak Syaikh Ammar Faqih menulis kitab
Tuhfatul Ummah yang isinya tidak jauh berbeda dengan Kitabut Tauhid karangan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab yang berisi pemurnian tauhid. Dan sam-sama kita ketahui, K. H.
Muhammad Faqih merupakan ulama tradisional yang sangat gigih menolak ajaran Wahhabi.
Bahkan Beliau memiliki karya khusus yang membantah ajaran Wahhabi yang berjudul “‘An
Nushush al Islamiyyah fii ar Radd ‘ala Madzhab al Wahhabiyyah”, yang pada beberapa waktu
lalu diterbitkan kembali dalam bentuk terjemahan oleh penerbit Sahifa dengan judul “Menolak
Wahabi” dengan tahqiq dari K. H. Aziz Masyhuri.

Ketika K. H. Muhammad Faqih mendengar bahwa anaknya telah menulis kitab yang berisi
tentang pemurnian tauhid seperti ajaran Wahhabi dan meminta klarifikasi kepada anaknya, maka
Syaikh Ammar Faqih pun menunjukkan kitab Tuhfatul Ummah kepada ayahnya tersebut.
Perselisihan antara ayah dan anak pun akhirnya terjadi. Perselisihan tersebut terjadi pada tahun
1932, dan terjadi selama beberapa minggu.

Untuk mengakhiri perselisihan tersebut, Syaikh Ammar Faqih melakukan siasat. Syaikh Ammar
Faqih meminta tolong ibunya untuk meletakkan kitab Tuhfatul Ummah di Mushalla tempat
ayahnya shalat dengan maksud agar ayahnya mau membaca kitab tersebut. Usaha tersebut
beberapa kali mengalami kegagalan. Bahkan K. H. Muhammad Faqih tidak mau mengubah
pendiriannya dan beranggapan bahwa anaknya telah mengikuti aliran sesat dan telah durhaka
kepada orang tuanya serta para sesepuh pondok pesantren.

Syaikh Ammar Faqih tidak putus asa. Beliau terus merayu ibunya agar mau meletakkan kitab
Tuhfatul Ummah di tempat ayahnya. Hasilnya tidak sia-sia. Sang ayah pun akhirnya bersedia
membacanya dan memahami apa isi yang terkandung di dalamnya. K. H. Muhammad Faqih pun
sadar bahwa apa yang ditulis oleh Syaikh Ammar Faqih tersebut memanglah benar dan
pemikiran anaknya itu tidak salah karena buku tersebut berisi tentang pemurnian aqidah dan
syari’ah Islam yang sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunnah.

Maka kemudian K. H. Muhammad Faqih pun memanggil seluruh anaknya dan dikumpulkan
untuk memberitahukan bahwa nanti yang akan meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren
Maskumambang adalah Syaikh Ammar Faqih. Sejak saat itu buku-buku karangan Syaikh
Ammar Faqih diperbolehkan untuk diajarkan kembali di Pondok Pesantren Maskumambang.
Kisah tersebut diatas kami nukil dari penelitian (skripsi) pada tahun 2016 yang berjudul
“Dinamika Pengembangan Pondok Pesantren Maskumambang Tahun 1937 – 1977 M (Studi
Pembaharuan dalam Bidang Aqidah oleh K. H. Ammar Faqih dan K. H. Nadjih Ahjad)” karya
Saadatul Hasanah, mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. Saadatul Hasanah sendiri meriwayatkan kisah diatas berdasarkan hasil
wawancara dengan salah seorang keturunan Syaikh Ammar Faqih, yakni K. H. Marzuki Ammar,
di Gresik pada 16 November 2015.

Dari kisah tersebut diatas apakah bisa disimpulkan bahwa K. H. Muhammad Faqih telah ruju’
dan menarik pendapat-pendapatnya yang Beliau tulis dalam buku An Nushush al Islamiyyah ?

Wallahu a’lam.

Namun jika menilik bahwa K. H. Muhammad Faqih, pada masa-masa akhir
hanyat Beliau, membiarkan kitab Tuhfatul Ummah diajarkan di pesantren serta kemudian
berwasiat agar kepemimpinan Pesantren kelak diberikan kepada Syaikh Ammar Faqih, maka
berat sekali untuk tidak mengatakan bahwa K. H. Muhammad Faqih telah ruju’ dan menarik
pendapat-pendapat lamanya tentang Wahhabi.

Apa yang dilakukan oleh Syaikh Ammar Faqih tersebut di atas lebih merupakan sebuah siasat
dakwah yang pada akhirnya sangat berhasil “menyusupkan” ajaran Wahhabi tanpa harus dengan
mengajarkan kitab-kitab Wahhabi secara langsung. Kini, dengan berjalannya waktu, Ponpes
Maskumambang tak lagi “sembunyi-sembunyi” mengajarkan karya-karya Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab. Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kini telah
menjadi kitab resmi yang diajarkan kepada santri-santrinya.

Kitabut Tauhid sendiri secara resmi diajarkan di Pesantren Maskumambang pada era
kepemimpinan KH. Nadjih Ahjad (lahir di Lamongan pada 19 Maret 1936), seorang murid,
menantu, sekaligus pengganti Syaikh Ammar Faqih.

Keterangan ini dipertegas sendiri oleh Kyai Nadjih pada buku beliau “Ta’tsirah kitab al-Tauhid
fi al-Harakat al-Ishlahiyyah al-Diniyah bi Indonesia”. Buku Kyai Nadjih tersebut sendiri pada
asalnya merupakan makalah yang disampaikan oleh Beliau pada acara “Pekan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammad bin Su’ud
di Riyadh, Arab Saudi pada tahun 1980. Beliau sendiri berpartisipasi dalam acara tersebut atas
permintaan dari Muhammad Natsir. Naskah asli buku tersebut berbahasa Arab, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Abd Muis Bangil pada
Oktober 1981 dengan judul “Pengaruh Wahabi di Indonesia”.

Jika merujuk pada keterangan sejarah Pesantren Maskumambang sebagaimana yang tertera
dalam website resminya, maka kita bisa simpulkan bahwa pengajaran Kitabut Tauhid di
Pesantren Maskumambang dimulai setelah tahun 1965. Hal ini karena Syaikh Ammar Faqih
wafat pada 25 Agustus 1965 dan – seperti dijelaskan di atas - KH. Nadjih kemudian
menggantikan Beliau memimpin Pesantren. Pada era Beliau ini pengajaran Kitabut Tauhid
dimasukkan dalam kurikulum resmi Pesantren. Pada era kepemimpinan Kyai Nadjih ini pula
Pesantren Maskumambang semakin memperkuat image sebagai pesantren yang menegakkan
ajaran Salafiyyah (Wahhabiyah) dan berperan memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Sebagai tambahan, dalam dunia penerjamahan kitab-kitab ulama-ulama Wahhabi di Indonesia,
Kyai Nadjih inilah yang pertama kali berjasa menerjemahkan kitab Jami’us Shaghir yang telah
diteliti sanad-sanadnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, seorang ulama Ahli
Hadits yang sangat dihormati dan dijadikan rujukan oleh kalangan Wahhabiyah di seluruh dunia.
Terjemahan tersebut diterbitkan oleh Bina Ilmu Surabaya pada tahun 1983.

Dalam terjemahannya tersebut Beliau memuji Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dengan
mengatakan :

“Pada zaman kita ini ada seorang ahli hadis besar yang meneliti ulang terhadap sanad hadits-
hadits yang ada dalam kitab ini, kemudian memberikan penilaiannya atas setiap hadits, yaitu

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani. Dalam kitab Beliau yang berjudul Shahih al Jami’ al
Shaghir wa Ziyaadatih Beliau himpun hadits-hadits dari kitab ini yang Beliau nilai shahih atau
hasan ; sedang dalam kitab Beliau yang berjudul Dha’if al Jami’ al Shaghir wa Ziyadaatih
Beliau himpun hadits-hadits yang dha’if, yang dha’if jiddan, dan yang maudhu’.”
“Hasil penelitian Beliau itu sangat besar manfaatnya dan sangat menolong terutama bagi
mereka yang belum begitu ahli dalam lapangan ilmu hadits. Oleh sebab itu setiap penilaian
Beliau yang berbeda dengan tanda derajat hadits yang diberikan oleh Imam Suyuthi dalam
akhir hampir setiap hadits, akan kami muat dalam terjemahan ini dalam bentuk catatan kaki.
Semoga Allah SWT berkenan menerima amal ibadah Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani
itu dan memberinya pahala berlipat ganda.”
(selesai nukilan)

Karya Beliau lainnya diantaranya adalah “Kitab Jenazah”, yang menguraikan tata cara mengurus
jenazah, pengurusan terhadap orang sakit menjelang wafat dan setelah wafat, menurut sunnah
Rasulullah. Karya ini diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1978.

Kyai Nadjih, yang juga merupakan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tersebut, wafat
menyusul gurunya (Syaikh Ammar Faqih) pada Rabu, 07 Oktober 2015. Semoga Allah
merahmati mereka berdua.

Pengalaman Ketiga : K.H. Asifuddin Zawawi dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah
Banyumas

Pengalaman selanjutnya muncul di Jawa Tengah. Berdasarkan penelusuran kami, sebuah pondok
pesantren di Jawa Tengah sejak dekade tahun 1950-an ternyata telah mengajarkan secara resmi
Kitabut Tauhid dan bahkan beserta dengan syarahnya yang berjudul “Fathul Majid” karya
Syaikh Abdurrahman bin Hasan, salah seorang cucu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (PPMWI) yang
terletak di Desa Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Tentang hal tersebut kami mendapati sumbernya dari keterangan yang dituliskan oleh KH.
Nadjih Ahjad (menantu sekaligus pengganti dari Syaikh Ammar Faqih dari Pesantren
Maskumambang Gresik) dalam bukunya yang berjudul “Pengaruh Wahabi di Indonesia” dan
penelitian/skripsi yang dilakukan Faiz Fauzi dari Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015, serta diperkuat oleh keterangan sejarah singkat PPMWI
yang kami dapatkan dari sini http://ppwi-karangduwur.blogspot.co.id/

Tentang keterangan dari tulisan KH. Nadjih, maka hal tersebut dapat dijumpai dalam bukunya
pada halaman 17. Beliau menulis sebagai berikut :

“Kitab Tauhid karangan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak perlu diperkenalkan untuk
mereka yang sedikit mempunyai pengetahuan tentang gerakan Beliau. Namun bagi saya, kitab
itu adalah karangan yang paling penting yang pernah Beliau tulis dan merupakan buku yang
sulit mendapatkannya di Indonesia. Meskipun ia jarang bahkan sulit didapatkan di Indonesia

namun ia terhitung salah satu buku pokok dalam mata pelajaran tauhid di sekolah-sekolah,
pondok pesantren – pondok pesantren, dan perguruan tinggi – perguruan tinggi Islam bahkan ia
merupakan salah satu buku wajib yang diajarkan dibeberapa pondok pesantren, seperti pondok
pesantren Al Ma’had Al Wathani Al Islami di Kebarongan, Jawa Tengah, Pondok Pesantren
Maskumambang, sebagaimana tersebut tadi.”
(selesai nukilan)

Kyai Nadjih menyebut bahwa pada saat itu (tahun 1980) Kitabut Tauhid sudah menjadi buku
pokok dalam berbagai sekolah Islam, pondok pesantren, dan perguruan tinggi, hanya saja Beliau
tidak merincinya. Kemudian Beliau menyebut PPMWI sebagai salah satu pondok yang
menetapkan Kitabut Tauhid sebagai salah satu buku wajib dalam kurikulumnya. Namun, Kyai
Nadjih tidak merinci kapan PPMWI mulai mengajarkan Kitabut Tauhid.
Keterangan yang lebih rinci kita dapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Faiz Fauzi. Faiz
menyebutkan bahwa PPMWI mengajarkan Kitabut Tauhid pertama kali tahun 1950 – an. Yang
memperkenalkan dan mengajarkannya adalah KH. Asifuddin Zawawi.
Dalam mengajarkan Kitabut Tauhid, Kyai Asifuddin menggunakan kitab Fathul Majid syarah
Kitabut Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan. Fauzi menyebut bahwa pemakaian
Kitabut Tauhid dan Fathul Majid dikarenakan saat itu Kyai Asifudin ingin mengajarkan kepada
masyarakat bagaimana Rasulullah dan para sahabatnya bertauhid untuk diamalkan, bukan
sekedar teori-teori ilmu kalam seperti yang umumnya ada pada kitab-kitab ilmu tauhid lainnya.
PPMWI menilai bahwa muatan materi tauhid yang ada dalam Kitabut Tauhid dan Fathul Majid
sangat tepat untuk diajarkan kepada para santri.

PPMWI berharap bahwa para santrinya dapat memurnikan ajaran Islam seperti yang diajarkan
oleh Rasulullah, dengan cara mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi
semua larangan-Nya berlandaskan pada Al Qur’an dan al Hadits. Selain itu, ditegaskan juga
bahwa keputusan mengajarkan Kitabut Tauhid tidak dilandasi faktor politik sama sekali.
Keterangan-keterangan diatas juga diperkuat oleh kesaksian dari Kyai Robani, salah seorang
murid dari Kyai Asifuddin yang juga merupakan guru di Madrasah Wathoniyah Islamiyah
Karangduwur, Petanahan, Kebumen, sebagaimana kami nukil di sini http://ppwi-
karangduwur.blogspot.co.id/…/merunut-sejarah-ke… .

Kyai Robani mengisahkan bahwa Kitabut Tauhid diperkenalkan oleh Kyai Asifuddin pada
sekitar tahun 1959. Sebelum itu, PPMWI Kebarongan masih memberikan pelajaran tauhid sifat
20 sebagaiman umumnya pondok-pondok pesantren di Indonesia lainnya. Kyai Robani
menyebut bahwa hal tersebut bermula dari adanya seseorang yang memberikan Kitabut Tauhid
kepada Kyai Asifuddin. Oleh Kyai Asifuddin kitab tersebut kemudian diajarkan ke seluruh
murid-muridnya. Hal ini tentu saja setelah Beliau mempelajarinya secara mendalam.
Karena kedudukan Kyai Asifuddin yang sentral, maka semua ustadz/guru di PPMWI, termasuk
yang di Karangduwur, akhirnya pun ikut mengikuti Kyai Asifuddin dalam menggunakan dan
mengajarkan Kitabut Tauhid.

Sedikit tentang PPMWI, diketahui bahwa pondok ini pertama kali didirikan pada tahun 1878 M /
1296 H oleh seorang kyai bernama KH. Muhammad Habib (wafat 1888 M). Beliau berasal dari
Prembun Kebumen, dan pernah menimba ilmu di Makkah selama kurang lebih 2 tahun. Pondok
ini pada awalnya bercorak tradisional seperti pondok-pondok umumnya di Tanah Air saat itu.
Pada era kepemimpinan KH. Sunan Muchdir, dan pada saat itu bertepatan dengan masa
penjajahan Jepang, PPMWI termasuk yang sangat lantang menolak kewajiban Seikeirei
(penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara menghadap ke arah matahari terbit setiap
pagi), karena menilai perbuatan tersebut adalah perbuatan syirik. Sikap tegas para pengurus
PPMWI ini kemudian diketahui oleh Jepang. Jepang kemudian menuduh para pengurus PPMWI
melakukan pembangkangan dan hendak memberontak. Akhirnya para pengurus PPMWI diculik
dan ditangkap. Lima orang pengurus, termasuk KH. Sunan Muchdir sendiri, kemudian ditembak
mati tim eksekutor Jepang pada 21 Maret 1942. Pengurus lainnya dipenjara.

Pada masa agresi militer Belanda, PPMWI menjadi salah satu basis gerilya. Dan ketika Belanda
makin menjadi-jadi serta mengultimatum seluruh tentara dan gerilyawan Indonesia untuk
mengosongkan Jawa Barat dan Jawa Tengah, maka pimpinan PPMWI dan murid-muridnya saat
itu memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta. Salah satu yang ikut hijrah saat itu adalah Kyai
Asifuddin.

Setelah situasi mereda, Kyai Asifuddin dan murid-muridnya memutuskan untuk pulang, dan
pada saat singgah di Petanahan, Kebumen, Beliau disambut oleh banyak muridnya sehingga
memunculkan ide Beliau untuk mendirikan madrasah di sana. Kyai Robani merupakan salah satu
murid Beliau di sana.

Pengalaman Keempat : Era Penerjemahan Karya-Karya Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab
Pada pengalaman yang keempat kita memasuki sebuah era baru, yakni era dimana karya-karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan perhatian yang lebih luas di masyarakat
dengan munculnya terjemahan-terjemahan atas karya-karya Beliau dan ulama-ulama Wahabi
lainnya.

Pada tahun 1972, seorang da’i yang bernama Drs. Dja’far Soedjarwo diketahui telah
mengajarkan Kitabut Tauhid secara rutin sampai dengan selesai di dalam lingkungan militer,
tepatnya di Komando Daerah Militer (Kodam) VIII/Brawijaya Malang. Pengalaman ini sangat
menarik, karena boleh jadi inilah pertama kalinya karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
diajarkan di lingkungan non pesantren.

Drs. Dja’far Soedjarwo memberikan kesaksian, sebagaimana kami kutip dalam buku “Ketuhanan
Yang Maha Esa Menurut Islam” :
“Kitab Tauhid oleh Syekhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang disajikan oleh Mustafa
al Alim dalam bahasa Arab, pada tahun 1972 saya ajarkan kepada anggota staf Komando
Daerah Militer VIII/Brawijaya yang beragama Islam dalam bentuk stensilan setelah saya
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada jam-jam Pendidikan Rohani Islam. Pendidikan

Rohani Islam saya berikan setiap hari kamis, saya ambilkan dari Kitab Tauhid tersebut, satu
lembar bolak-balik yang sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kepada staf
Kodam VIII/BRAW di Malang waktu itu berjalan lebih kurang selama dua tahun. Tamatlah
Kitab Tauhid tersebut.”
(selesai nukilan)

Pengajaran yang dilakukan oleh Drs. Dja’far Soedjarwo tersebut ternyata menarik minat Kepala
Jawatan Rohani Islam Kodam Brawijaya saat itu – Letkol. Abdul Moechid – untuk menerbitkan
terjemahan Kitab Tauhid dalam bahasa Indonesia. Maka kemudian Letkol. Abdul Moechid
memerintahkan kepada delapan orang Imam Militer Kodam Brawijaya untuk mengoreksi dan
memperbaiki redaksi terjemahan Kitab Tauhid yang sebelumnya telah dikerjakan secara lengkap
oleh Drs. Dja’far Soedjarwo dalam bahasa Indonesia tersebut. Delapan orang Imam Militer
Kodam Brawijaya tersebut adalah Abdul Moechid, Drs. Abd. Rasyid, Drs. Fahadaina, H. Helmy
Yusran, B. A., Al Khamdani, B. A., Umar Effedi, B.A., KH. Usman Mansur, dan KH. Bey
Arifin.

Usaha yang dirintis oleh para Rohaniawan Islam dari Kodam Brawijaya tersebut akhirnya
membuahkan hasil berupa terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Terjemahan ini diberi judul dahsyat dan lugas : “Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk” dan
diterbitkan oleh penerbit Bina Ilmu Surabaya pada tahun 1979. Terjemahan ini diberi kata
pengantar oleh Bey Arifin (lahir di Agam pada 29 September 1917) mewakili para penerjemah.
Dalam pengantarnya, Bey Arifin menceritakan latar belakang penerjemahan kitab ini :
“Beberapa tahun terakhir ini sudah berkurang cacian terhadap faham Wahabi, malah secara
diam-diam semua ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab sudah banyak diajarkan dan
disebarkan untuk kemurnian agama Islam dari penyelewengan-penyelewengan, baik mengenai
kepercayaan (iman) atau peribadatan. Maka tepat betullah waktunya sekarang ini menyebarkan
buku karawangan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan menerjemahkannya ke dalam
bahasa Indonesia, agar dapat diketahui dan dibaca oleh setiap ummat Islam bangsa kita. Lebih-
lebih oleh mereka yang beberapa waktu sebelumnya sudah anti danmencaci ajaran yang sangat
berguna dan benar ini.”

Selanjutnya Beliau mengatakan :
“Kami percaya, bila setiap ummat Islam membaca dan merenungkan isi buku ini akan dapat
membersihkan aqidah (tauhid) mereka dari segala kotoran syirk yang masih melekat pada diri
mereka masing-masing.”
Beliau melanjutkan :
“Siapa saja yang sudah membaca buku ini dan mengetahui bagaimana aqidah tauhid yang
benar itu, wajib menyebarkannya kepada siapa saja, dimana pun mereka berada. Lebih-lebih

untuk diri sendiri dan keluarga. Sedapat-dapatnya dibacakan bab demi bab dalam pengajian-
pengajian rutin di masjid-masjid dan mushalla-mushalla. Dan ajarkanlah di sekolah-sekolah
umum dan madrasah-madrasah.”
(selesai nukilan)

Dari apa yang disampaikan oleh Bey Arifin di atas, dapat kita anggap bahwa penerjemahan dan
publikasi Kitabut Tauhid yang dilakukan Bey Arifin dan kawan-kawannya merupakan episode
lanjutan dari episode-episode awal dakwah yang telah dirintis oleh Teungku Haji Ahmad
Hasballah Indrapuri, Syaikh Ammar Faqih, K. H. Asifuddin Zawawi, dan tokoh-tokoh lainnya
dalam menyebarkan ajaran-ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Bila sebelumnya hanya terbatas pada pengajaran di pondok/madrasah, maka kini dengan adanya
penerjemahan dan publikasi yang dilakukan oleh Bey Arifin dan kawan-kawannya tersebut,
masyarakat yang dijangkau semakin luas.

Sejak penerbitan kitab “Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirk”, ajaran-ajaran Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi semarak dan berkembang. Apalagi dengan dibukanya
kran beasiswa belajar ke Arab Saudi atas jasa Muhammad Natsir yang bekerja sama dengan Raja
Faishal. Semakin banyak orang Indonesia yang belajar langsung ke negeri Wahabi Arab Saudi
dan mengajarkannya kepada masyarakat Indonesia sepulangnya dari sana.

Pada tahun 1984, terbit sebuah syarah (penjelasan) atas Kitabut Tauhid yang ditulis oleh Da’i
Muhammadiyah, Moehammad Thahir Badrie, sebagaimana sempat disinggung lalu. Karya ini
boleh jadi merupakan yang pertama yang ditulis oleh ulama Indonesia dalam bahasa Indonesia.
Kitab syarah ini diterbitkan oleh Pustaka Panjimas Jakarta dan direncanakan akan terbit dalam 4
jilid. Namun sayang, hingga saat ini baru 2 jilid saja yang telah diterbitkan. Entah apakah kitab
syarah selesai atau tidak.

Dalam karyanya ini Moehammad Thahir Badrie mencoba untuk memberikan syarah Kitabut
Tauhid yang disesuaikan dengan kesiapan kondisi sosiologis masyarakat Nusantara. Beliau
menyebutkan pada kata pengantar karyanya tersebut bahwa pada awalnya Beliau bermaksud
untuk menerjemahkan kitab Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin
Hasan, cucu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun niat ini Beliau urungkan karena
alasan sosiologis, sehingga pada akhirnya Beliau menulis sendiri syarah Kitabut Tauhid yang
telah disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat saat itu.
Beliau menulis :
“Semula penulis (Moehammad Thahir Badrie) beranjak niat buat menerjemahkan saja kitab
syarahnya – Fath al Majid – tetapi mengingat uraian dan pemaparannya memerlukan
kematangan dan kedalaman yang cukup sesuai dengan kondisi masyarakat Islam di lingkungan
kita sendiri, maka niat tersebut tak jadi penulis laksanakan.”
(selesai nukilan)

Nampak dalam hal ini Moehammad Thahir Badrie menempuh pendekatan yang sama dengan
yang dilakukan oleh Syaikh Ammar Faqih Maskumambang dan murid-muridnya, yakni
pendekatan sosiologis dalam mempromosikan ajaran-ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab.

Bey Arifin sendiri kemudian melanjutkan seri kedua dari kitab “Bersihkan Tauhid Anda dari
Noda Syirk”. Kali ini Beliau menerjemahkan matan Aqidah Wasithiyyah karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah pada tahun 1985 yang juga diterbitkan oleh Bina Ilmu Surabaya. Dan
terjemahan ini boleh jadi merupakan terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas kitab
tersebut.

Disamping itu, Bey Arifin juga menulis karya-karyanya sendiri yang sangat bernuansa
pemurnian ajaran tauhid, seperti terlihat pada bukunya berjudul “Hidup Sesudah Mati” dan
“Samudera Al Fatihah”.

Bey Arifin sendiri pada akhir-akhir masa hidupnya mengabdikan diri untuk berkhidmah dalam
menerjemahkan kitab-kitab induk hadits. Menurut penelusuran kami, pada akhir hayatnya Beliau
sempat menerjemahkan beberapa kitab induk hadits dan diterbitkan oleh C. V. Asy Syifa
Semarang. Beliau wafat di Surabaya pada 30 April 1995.

Drs. Dja’far Soedjarwo – sang pionir penerjemahan kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
di Indonesia – tidak mau ketinggalan dengan Bey Arifin. Pada tahun 1986, Beliau
menerjemahkan kitab syarah (penjelasan) dari Kitab Tauhid, yakni kitab Taisirul ‘Azizil Hamid
fii Syarh Kitabit Tauhid yang diterbitkan oleh Penerbit Al Ikhlas Surabaya dengan judul
“Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam” dalam 1 jilid besar. Dalam versi 2 jilid, terjemahan
ini diberi judul “Kebenaran Tauhid Wahabi”. Kitab syarah ini ditulis oleh Syaikh Sulaiman bin
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, yang merupakan cucu dari Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab. Karya terjemahan ini adalah yang pertama di Indonesia dan hingga kini belum
ada lagi yang menerjemahkan kitab syarah ini.

Sebelumnya pada tahun 1981, Dja’far Soedjarwo bersama-sama dengan Rahnip M.
menerjemahkan karya bertema pemurnian tauhid karya Imam Muhammad bin Ismail al Amir al
Yamani ash Shan’ani (penulis Subulus Salam) yang berjudul “Tath-hirul I’tiqad ‘an Idranil
Ilhad”. Keduanya menerjemahkan karya tersebut dengan memberinya judul “Penghancuran
Kepercayaan Bathil”. Terjemahan ini diterbitkan oleh Bina Ilmu.

Dalam kata pengantarnya, Dja’far Soedjarwo dan Rahnip menyebutkan bahwa penerjemahan ini
dilakukan setelah mengamati kehidupan ummat Islam. Keduanya merasa terpanggil untuk
mencerdaskan ummat Islam yang sebagian besar masih bodoh-bodoh dalam beragama, dengan
perbuatan-perbuatan di luar tuntunan Islam dan tidak mantap keyakinannya. Hal ini disebabkan
pengaruh-pengaruh lingkungan yang telah sesat dari agama yang besar.

Dja’far Soedjarwo juga tercatat sebagai pionir dalam menerjemahkan 2 kitab klasik karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yakni Qa’idah Jalilah fi at Tawassul wal Wasilah (diterbitkan
oleh Bina Ilmu) dan al Furqan bainal Auliya ar Rahman wa Auliya asy Syaithan (diterbitkan oleh
Al Ikhlas). Sayang sekali, biografi lebih lanjut mengenai Beliau sulit dijumpai.

Khatimah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa karya-karya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab masuk dan diajarkan ke Indonesia dalam beberapa bentuk pengalaman, dimana
setiap pengalaman memiliki latar belakangnya masing-masing.

Pada pengalaman Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri dan Syaikh Ammar Faqih terlihat
dilatarbelakangi oleh pengaruh yang sangat kuat atas pelajaran-pelajaran Wahabi yang mereka
berdua terima ketika belajar di Tanah Suci. Bedanya, Syaikh Ammar Faqih memilih pendekatan
yang lembut dan pelan-pelan ketika mengajarkannya di Indonesia. Ini disebabkan pertimbangan
sosiologis masyarakat Maskumambang, Gresik yang menjadi objek dakwahnya.

Syaikh Ammar Faqih sangat memahami bahwa kondisi-kondisi sosiologis masyarakat Indonesia
tentu sangat berbeda dengan kondisi-kondisi sosiologis masyarakat yang menjadi sasaran
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada masanya. Oleh karenanya Beliau, diikuti
oleh murid-muridnya, menempuh metode bertahap dalam mengenalkan dan mengajarkan Kitabut
Tauhid disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat setempat, hingga kemudian Kitabut
Tauhid dijadikan sebagai buku wajib dalam kurikulum pesantren.

Pendekatan yang dilakukan oleh Syaikh Ammar Faqih ini berbeda dengan yang terjadi di Dayah
Indrapuri. Di sini Teungku Haji Ahmad Hasballah langsung mengajarkan Kitabut Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pilihan ini diambiI dengan mempertimbangkan juga
kondisi sosiologis masyarakat Aceh yang menjadi objek dakwah.

Teungku Haji Ahmad Hasballah menghadapi masyarakat yang memiliki corak berbeda dengan
masyarakat yang dihadapi Syaikh Ammar Faqih. Masyarakat Aceh saat itu sedang pada masa-
masa berjihad melawan kolonialisme kafir Belanda. Ajaran-ajaran tauhid untuk tidak takut
terhadap siapapun, kecuali kepada Allah semata sudah sangat meresap pada diri orang-orang
Aceh sejak kecil. Ajaran-ajaran tersebut tentu saja bermaksud untuk memompa semangat jihat
rakyat Aceh untuk melawan penindasan penjajah Belanda.

A. Hasymy menyebut bahwa syair-syair (lagu-lagu) panggilan jihad yang menderu-deru telah
menemani masa kecil dan remaja Teungku Haji Ahmad Hasballah dan anak-anak Aceh pada
umumnya, sehingga mereka tertempa menjadi seorang pemuda mukmin yang merasa dirinya
hanya hamba Allah, bukan hamba makhluk manapun. Kondisi sosial masyarakat Aceh yang
sedemikian keras terhadap penghambaan terhadap penjajah asing itu tentu saja menjadi modal
yang sangat kuat dan pas bagi Teungku Haji Ahmad Hasballah untuk menyebarkan ajaran-ajaran
pemurnian tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan tanpa kendala yang berarti.
Keadaan lingkungan masyarakat yang mendukung juga dialami oleh Kyai Asifuddin Zawawi di
Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah. Meski Beliau tidak diketahui pernah belajar
langsung kepada ulama-ulama Wahabi di Makkah, namun latar belakang pesantren PPMWI yang
dikenal sangat keras terhadap praktik-praktik kesyirikan, seperti terlihat pada kasus penolakan
terhadap seikeirei, menjadikannya cukup subur untuk membibitkan ajaran-ajaran pemurnian
tauhid sebagaimana diajarkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Kitabut
Tauhidnya.

Kiprah pesantren PPMWI yang ikut terlibat langsung dalam jihad gerilya selama masa revolusi
Indonesia mempengaruhi corak pengajaran mereka yang lebih menekankan pada bentuk
pengamalan dibandingan dengan teori-teori. Ini yang kemudian mendasari Kyai Asifuddin untuk
lebih memilih mengajarkan Kitabut Tauhid yang memang lebih menekankan pada aspek
pengamalan dari ajaran Tauhid, daripada kitab-kitab ilmu tauhid lainnya yang lebih banyak
membahas teori-teori ilmu kalam.

Dari pengalaman yang dialami oleh Teungku Haji Hasballah dan Kyai Asifuddin Zawawi, dapat
ditarik benang merah bahwa pengajaran pemurnian tauhid ala Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab sangat cocok disemaikan pada lingkungan yang bercorak perjuangan dan revolusi.
Teungku Haji Ahmad Hasballah mengajarkannya di tengah-tengah suasana perang di Aceh,
sedangkan Kyai Asifuddin mengajarkannya di tengah-tengah suasana revolusi fisik
mempertahankan NKRI.

Karakteristik tersebut diatas boleh jadi yang membuat Drs. Dja’far Soedjarwo, Bey Arifin, dan
kawan-kawannya leluasa juga untuk mengajarkannya di lingkungan keras dunia militer. Dengan
dukungan dari lingkungan militer yang saat itu sangat disegani masyarakat, serta didorong oleh
semangat untuk menyadarkan masyarakat Nusantara dari kekeliruan dalam praktik beraqidah
yang saat itu banyak terjadi, maka terjadilah perkembangan baru yang sangat menggembirakan
bagi aktifitas dakwah Wahabi di Nusantara. Bermula dari pengajaran-pengajaran yang dilakukan
di dalam barak militer, karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian
diterjemahkan dan disebarluaskan kepada masyarakat yang lebih luas. Dan hasilnya bisa
dinikmati hingga saat ini.
Wallahu a’lam.




Referensi :
1. Bersihkan Tauhid Anda Dari Noda Syirk (Terjemahan Kitabut Tauhid), diterjemahkan oleh Bey
Arifin dan kawan-kawan, Bina Ilmu Surabaya
2. Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab, Moehamad Thahir Badrie, Pustaka
Panjimas
Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam (Terjemahan Taisirul ‘Azizil Hamid), diterjemahkan
oleh Drs. Dja’far Soedjarwo, Al Ikhlas Surabaya
3. Jadilah Mu’min Sejati, Ammar Faqih, terjemahan oleh Bey Arifin dan Adenan Nur, Bina Ilmu
Surabaya
4. Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, A. Hasymy,
Bulan Bintang
5. Terjemah Jami’us Shaghir tahqiq al Albani, diterjemahkan oleh KH. Nadjih Ahjad, Bina Ilmu
Surabaya
6. Kitab Janazah, KH. Nadjih Ahjad, Bulan Bintang
7. Pengaruh Wahabi di Indonesia, KH. Nadjih Ahjad, Pustaka Abd Muis Bangil
Pelajaran KHA Dahlan, KRH. Hadjid, MPI PPM
8. Penghancuran Kepercayaan Bathil, Muhammad bin Isma'il Amir ash Shan'ani, terjemahan oleh
Drs. Dja'far Soedjarwo dan Rahnip M., Bina Ilmu Surabaya
Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan (Studi Tauhid Kitab Fathul
Majid Di Madrasah ‘Aliyah), Skripsi, Faiz Fauzi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
9/ Dinamika Pengembangan Pondok Pesantren Maskumambang Tahun 1937 – 1977 M (Studi
Pembaharuan dalam Bidang Aqidah oleh K. H. Ammar Faqih dan K. H. Nadjih Ahjad), Skripsi,
Saadatul Hasanah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
10. http://ppwi-karangduwur.blogspot.co.id/…/merunut-sejarah-ke…
11. http://www.maskumambang.ac.id/sejarah/


___________________________
~ Wahyu Indra Wijaya ~
Sahabat PENA
_____________________________

Comments